Kutiup debu yang menutupi buku
yang kupegang. Debunya cukup
tebal memenuhi setiap sisi buku ini.
Ini adalah buku diaryku tujuh tahun
yang lalu. Buku diaryku yang
pertama kumiliki dan kuisi dengan
berjuta kisah yang berkesan hingga
menjadi sebuah kenangan manis di
hati. Pffuuh...debunya beterbangan
di sekitarku. Aku sampai batuk-
batuk karena debu yang masuk ke
dalam saluran pernafasanku. Lap
basah yang sudah kusiapkan tadi
langsung kugunakan untuk
membersihkan debu yang masih
tersisa. Baunya sudah apek.
Hari ini aku memang sedang rajin-
rajinnya membereskan rumah. Mama
bilang, kamarku akan segera
direnovasi untuk dijadikan kamar
kost. Karena empat tahun ke depan
aku akan pindah keluar kota untuk
meneruskan kuliah. Jadilah aku
harus membongkar semua barang-
barang di kamarku dan
memindahkannya ke ruangan lain
untuk sementara waktu.
Tak terasa sudah satu jam berlalu,
pekerjaanku terhenti karena buku
diary ini. Buku diary yang
kutemukan di bawah kasur. Aku lupa
kalau aku menyimpannya di situ.
Karena dulu adik perempuanku
selalu ingin tau apa isi buku diaryku.
Jadilah aku harus menyimpannya
sembunyi-sembunyi.
Aku mulai membuka halaman
pertama. Seperti buku diary yang
lainnya. Selalu diawali dengan
biodata pemiliknya. Begitu pun
dengan buku diary yang kumiliki ini.
Tulisan tanganku yang masih acak-
acakan memenuhi halaman pertama
dan ditambah pula dengan hiasan
yang berwarna-warni. Sebelum aku
membuka halaman berikutnya,
selintas beberapa kenangan
memenuhi ingatanku. Semua
tentang lelaki pujaan hatiku saat itu.
Halaman berikutnya mulai kubuka.
Diary.....
Aku menyukai seseorang di kelasku
sejak kelas 2 SD. Entah mengapa aku
selalu senang berada di dekatnya.
Namanya Dimas. Memang, usiaku
masih sangat kecil saat itu. Tapi
mungkin saat itu aku menyukainya
sebagai seorang sahabat. Ia duduk
tepat di sampingku. Aku satu meja
dengannya! Setiap hari setiap aku
berada di sekolah, ketenangan dan
rasa senang itu selalu datang tiap
kali aku bersamanya.
Wajahnya begitu manis. Tatapan
matanya tajam. Hatinya lembut.
Tutur katanya selalu membuat
hatiku berbunga-bunga. Hal itu
kurasakan sampai saat ini. Meskipun
sejak kelas 3 SD aku sudah tidak lagi
duduk di sampingnya, tapi rasa itu
terus membekas di hati.
Seiring waktu yang berjalan, aku
tidak pernah tau apakah ia
menyukaiku juga atau tidak. Sampai
kini aku telah menginjak kelas enam.
Pertanyaan itu belum juga terjawab.
Diary, bagaimana dengan hati ini?
Pantaskah aku masih
mengharapkannya?
Aku menghela nafas perlahan. Ini
adalah kisah cinta pertamaku. Kisah
tentang pertama kalinya aku
menyukai lawan jenisku. Aku ingat,
dulu aku memang cukup dekat
dengannya saat itu. Aku banyak tau
tentang dirinya. Aku dan dia banyak
bercerita tentang kisah kami
masing-masing. Tapi itu benar-benar
kisah cintaku yang awal. Dan aku
masih punya kisah cinta berikutnya
di halaman lain. Halaman kedua
selesai kubaca, aku lalu membuka
halaman berikutnya.
Diary.............
Hari ini adalah hari bahagia dalam
hidupku. Hatiku berbalas. Dimas
menyukaiku! Kau tau, sepulang
sekolah tadi Dimas menghampiriku.
Tanpa basa-basi, ia langsung
menyatakan perasaannya padaku. Ia
bilang ia menyukaiku. Sama seperti
aku menyukainya. Rasa itu terajut
sejak kelas 2 SD. Kini aku sudah
menginjak kelas satu SMP. Hatiku
benar-benar berbunga rasanya.
Mulai hari ini, aku jadian dengannya.
Kurasa, aku akan benar-benar
nyaman bersamanya seperti dulu.
@
Aku dan sahabatku duduk di bawah
rindangnya pepohonan yang cukup
rimbun. Sinar matahari memang
sangat menyengat siang ini. Aku
menghela nafas panjang sambil
melamun. Tatapan mataku kosong
ke arah lapangan. Sahabatku, Tia
hanya terdiam melihatku seperti ini.
Ia sudah tau kebiasaanku. Setiap aku
mengajaknya untuk duduk di bawah
pohon ini, aku selalu melamun.
Karena itulah ia tak berani
mengatakan sepatah katapun
sampai aku yang memulainya.
“Tia. Kamu nggak apa-apa aku ajak
ke sini lagi?” tanyaku akhirnya.
“Ya...aku sudah biasa kok! Kamu
santai aja dulu. Pikirin dulu semua
masalah kamu. Kalau kamu udah
capek dan belum juga nemuin jalan
keluarnya, kamu kan bisa cerita
sama aku,” sahut Tia sambil
kemudian ia bersandar di
punggungku.
“Maaf ya. Seminggu ini aku udah
ngajak kamu ke sini sampai 3 kali.
Dan aku belum cerita apa-apa sama
kamu,”
“Nggak apa-apa kok! Udah, kamu
tenangin pikiran kamu aja dulu. Aku
masih betah kok nemenin kamu di
sini,”
“Betah? Betah kenapa?” tanyaku.
“Tuh di ujung lapangan ada
Randra, Aldo, sama Ferry lagi
ngobrol,” ucap Tia sambil
menunjuk ke ujung lapangan.
“Memangnya kalau mereka lagi
ngobrol di sana kenapa?” tanyaku.
“Aku lagi ngefans sama Aldo. Ingin
menatapnya sepuas hati meskipun
dari jarak yang jauh,”
“Dasar! “
Kulihat Tia hanya tersenyum. Ia lalu
meneruskan tatapannya pada Aldo.
Aku tak perduli pada mereka bertiga
yang ada di ujung lapangan itu.
Pikiranku sedang kacau. Banyak
kejadian aneh yang menimpaku
selama satu minggu ini. Tia belum
kuberi tau kalau hal yang
mengganggu pikiranku adalah Aldo,
Randra, dan Ferry. Mereka bersikap
aneh padaku setiap harinya. Belum
lagi tentang Dimas. Aku melihatnya
bersama Fita sepulang sekolah. Fita
adalah anak baru pindahan dari
Semarang. Sejak kedatangan Fita,
Dimas perlahan mulai terasa jauh. Ia
jadi jarang sekali menghampiriku di
waktu istirahat. Sepertinya mereka
semakin dekat. Aku menghela nafas
panjang. Angin sejuk semilir
melewati wajahku. Sejuk. Rasanya
aku ingin tertidur saja. Melupakan
semua masalah yang mengganjal.
Aku pindah tempat duduk.
Kusandarkan tubuhku pada batang
pohon. Aku mulai memejamkan
mataku perlahan dan....
“Gin, Aldo jalan ke sini!” tiba-tiba
Tia berteriak histeris.
”Biarin aja. Memangnya kenapa
kalau dia jalan ke arah sini?”
kataku tetap tak perduli.
“Kita tanya yuk apa yang mereka
omongin barusan!” ajak Tia sambil
menarik lenganku. Aku diam saja.
Aku tak perduli dengan Aldo. Mataku
mulai kupejamkan.
@
“Pokoknya kita putus!” ucapku
lantang sambil menatap tajam
Dimas.
“Memangnya kenapa?” tanya
Dimas.
“Aku udah capek kamu bohongin
terus. Kamu dekat dengan Fita kan?!
Kamu nggak usah ngelak lagi.
Kemarin aku liat kamu jalan sama dia
di mall. Pantas saja kamu nggak mau
jalan sama aku kemarin. Padahal
kamu bilang, kamu mau kerja
kelompok, nggak taunya kamu
malah jalan sama Fita!”
“Tapi aku nggak mau putus sama
kamu, Gin. Kamu....first love aku,”
mata Dimas menatapku lembut.
“Aku nggak perduli! Pokoknya kita
putus!” ucapku. Aku lalu pergi
darinya. Mataku berair. Dimas tidak
mengejarku. Ia hanya diam
menerima keputusanku. Sudah dua
tahun aku dengannya. Kini kisah itu
berakhir dengan kata putus dariku.
@
Diary.........
Sekarang ini aku sudah menginjak
kelas satu SMA. Hari pertamaku di
SMA sangat menyenangkan. Banyak
teman SMP yang masih sekelas
denganku saat ini. Termasuk Dimas.
Oh, ya kemarin di sekolah Tia banyak
bercerita padaku tentang Aldo,
Randra, dan Ferry. Sikap aneh
mereka padaku sejak SMP itu kini
mulai bisa kumengerti apa sebabnya.
Sudah selama ini Aldo dan Ferry
terus mendekatiku. Mereka yang
semula jauh, seakan-akan selalu
berada di dekatku sejak SMP. Bahkan
mereka banyak mengajakku
mengobrol setiap harinya. Tapi
berbeda dengan Randra. Ia lebih
banyak diam jika ada di dekatku.
Matanya sering menatapku dengan
tatapan yang tajam. Benar-benar
misterius. Ia bahkan tak banyak
bicara. Hanya menatapku.
Tetapi beberapa hari yang lalu,
mereka membawaku ke masa lalu.
Mereka terus mengungkit-ungkit
kisahku dengan Dimas. Aku ingin
menangis. Entahlah...hal yang
mereka lakukan sering sulit
kupahami.
Sewaktu pertemuan Tia dan Aldo di
lapangan siang itu, ternyata mereka
banyak mengobrol sementara aku
tertidur di bawah pepohonan. Aldo
banyak bercerita tentang apa saja
yang baru saja mereka bicarakan di
ujung lapangan saat itu. Aldo bilang
kalau sebenarnya Randra
menyukaiku. Entah apa yang harus
kurasakan saat ini. Tak ada yang
bergetar di hatiku ketika aku
mendengar hal itu. Benarkah hal
itu ? Aku pun masih ragu saat ini.
Aku tersenyum sesaat setelah
membaca halaman ini. Ini adalah
awal kenangan manis yang kumiliki.
Pertama kalinya kudengar ada
seseorang yang menyukaiku dengan
sebunyi-sembunyi. Tanganku sudah
mulai gatal untuk membaca halaman
berikutnya.
Diary............
Siang tadi aku melihat Dimas dan Fita
bersama. Mereka mengobrol di
tempat duduk Aldo. Ada rasa miris di
hatiku. Mungkin rasa ini adalah
setitik cemburu di hatiku. Rasanya
memang tidak terlalu sakit, tapi
sangat cukup membuat hatiku
berhenti berharap padanya. Yang
kutau sampai saat ini mereka hanya
sebatas dekat saja. Tapi kemudian
aku benar-benar terkejut dengan
berita yang baru saja kudengar
setelah mereka berdua selesai
mengobrol. Tia bilang kalau Dimas
dan Fita sudah jadian selama satu
tahun. Selama itukah? Mengapa aku
baru mengetahui hal itu? Tia bilang
ia tidak mau sampai aku mengetahui
hal ini. Ia tidak mau aku sakit hati.
Hatiku baru benar-benar sakit
setelah kutau hal yang sebenarnya.
Harapanku benar-benar tertelan ke
dasar bumi. Harapan yang sangat
sulit untuk kugapai lagi. Jujur kuakui
aku memang masih berharap sampai
saat ini. Walaupun aku yang
memutuskan hubungan saat itu, tapi
hatiku berharap ia masih
menyukaiku. Tapi aku kini mengerti
kalau Dimas benar-benar sudah
menyukai Fita. Mungkin sejak
pertama kali mereka bertemu.
Sementara itu, ketika mataku hampir
basah, Aldo, Ferry, dan Randra
menghampiriku. Mereka mengajakku
dan Tia untuk jalan-jalan ke mall hari
Minggu besok. Aku menuruti saja
ajakan mereka. Ya....hitung-hitung
untuk menghibur hatiku yang sakit
ini.
@
“Do, kamu aja yang bawa motorku.
Perjalanan cukup jauh. Aku nggak
berani bawa motor sejauh itu,”
ucap Tia sambil memberikan kunci
motornya pada Aldo.
“Terus, Ti. Kita naik motor yang
mana?” tanyaku.
“Mm...gini deh. Aku dibonceng
sama Aldo. Kamu sama Randra aja
ya, Gin!” ucap Tia sambil menaiki
motor dan duduk di belakang Aldo.
“Bener tuh! Randra kamu bonceng
Ginsha ya! Eh, ya kita jalan duluan
nih! Bye....!” Aldo langsung
menyalakan motornya. Tinggallah
aku dan Randra yang sama-sama
bungkam. Aku takut aku akan salah
tingkah di depan Randra.
“Gin, kita berangkat sekarang.
Nanti ketinggalan mereka. Ayo
naik!” ajak Randra sambil
memberikan helm berwarna biru
padaku. Aku hanya mengangguk
dan mengikuti perkataannya.
Selama perjalanan ini aku dan
Randra sama sekali tidak berbicara
sepatah katapun. Aku dan Randra
sama-sama tak punya pilihan kata
untuk diucapkan.
Tak lama kemudian kami sampai di
mall. Aldo dan Tia mengantri tiket
bioskop. Aku dan Randra mereka
suruh untuk membeli makanan.
Sama seperti sebelumnya, aku dan
Randra benar-benar diam. Tak ada
suara yang keluar selain hanya
sekadar bertanya tentang hal yang
sedang kami lakukan saat ini.
Memilih makanan.
Setengah jam kemudian film akan
segera dimulai. Kami berempat
mencari tempat duduk sesuai tiket
yang kami miliki. Sepertinya hal ini
memang benar-benar sudah
direncanakan. Buktinya, aku dan
Randra benar-benar duduk
bersebelahan. Sepertinya aku harus
menuruti jalan cerita yang mereka
rencanakan ini. Lima menit berlalu.
Film sudah mulai diputar. Bangku
sebelah kananku tempat Randra
duduk. Dan bangku sebelah kiriku
masih kosong.
“Gin, aku boleh minta maaf sama
kamu?” tanya Randra tiba-tiba.
“Minta maaf soal apa?” tanyaku
sambil mataku tetap ke layar.
“Kalau mungkin aja kamu pernah
merasa nggak enak gara-gara
aku,”
“Nggak enak kenapa? Aku nggak
apa-apa kok, Dra. Kamu kan nggak
pernah bikin aku sakit hati. Nggak
usah merasa bersalah gitu kali,”
“Oh, ya sudah. Kalau begitu aku
tenang. Terima kasih ya, Gin,”
“Ya. Sama-sama,” aku lalu
meneruskan tontonanku. Tapi
setelah Randra bicara barusan, aku
jadi semakin bingung. Sebenarnya
aku masih tidak mengerti mengapa
ia bicara seperti itu.
“Ginsha,” panggil Randra.
“Ada apa lagi?” tanyaku.
“Ah, nggak deh. Nggak jadi,”
Aku hanya diam sambil menatap
Randra. Aku tak mengerti sikapnya
saat ini. Begitu aneh.
Makanan ringan yang kupegang
tiba-tiba terlempar ke samping kiri.
Kutengokkan wajahku dan....
“Aduh! Maaf ya, aku nggak
sengaja. Tiba-tiba aja makanannya
lompat dan.......,” perkataanku
terhenti saat kulihat orang yang
saat ini berada di sampingku.
“Eh, Ginsha. Nggak apa-apa kok!”
ucapnya sambil tersenyum padaku.
“Dimas?” ucapku. Aku lalu
menengok ke samping kiri tempat
Dimas duduk.
“Kok sendiri?” tanyaku heran
karena aku tidak melihat Fita di
sampingnya.
“Ya, sendiri aja. Pasti kaget ya
karena aku nggak sama Fita?”
tebaknya. Aku mengangguk.
“Eh, jangan bilang siapa-siapa ya,
Gin. Kemarin aku baru putus sama
Fita,” Dimas berbisik di telingaku.
Kulihat Aldo, Tia, dan Randra
menatap aku dan Dimas bergantian.
Mencoba menebak apa yang Dimas
katakan kepadaku saat ini.
Hatiku berdesir perlahan. Entah apa
yang kurasakan saat ini. Setelah itu,
aku mencoba pura-pura tidak terjadi
apa-apa dan mencoba menikmati
film walau sebenarnya hatiku seperti
tak jelas apa rasanya.
Akhirnya film selesai diputar. Lampu
mulai dinyalakan. Tiba-tiba Randra
menarik tanganku sampai keluar
bioskop. Ia mengajakku sampai ke
food court. Dimas melihatku dan
Randra. Tapi ia tidak mengikuti kami.
Ia hanya tersenyum dan melambai
kepadaku.
“Dra, kamu apa-apaan sih?”
tanyaku agak kesal.
“Kamu masih suka sama Dimas?
Tadi dia bisik-bisik apa sama
kamu?” tanya Randra sambil
menatapku tajam.
“Memangnya hubungannya sama
kamu apa? Kenapa kamu tiba-tiba
aja nanya kayak gitu sih?”
“Kamu jawab aja pertanyaanku
itu,” Mata Randra masih belum
berpaling.
“Aku nggak akan jawab
pertanyaan itu kalau kamu nggak
kasih tau alasannya,” Aku mencoba
melihat ke arah lain.
“Haruskah aku katakan
alasannya?” tanya Randra. Aku
mengangguk.
“Karena aku cemburu,” ucapnya
pelan. Aku terdiam mendengar kata-
katanya barusan. Cemburu?
Mengapa ia harus cemburu?
“Kamu suka sama aku, Dra?”
tanyaku akhirnya. Randra
mengangguk.
“Kamu belum jawab pertanyaanku.
Apa kamu masih suka sama
Dimas?” tanya Randra.
“Ya. Sedikit. Rasanya sedikit
berbeda dengan saat aku masih
jadian dengannya,” jawabku.
“Kamu masih berharap
padanya?” tanya Randra.
“Entahlah. Mungkin aku sudah
terlalu lelah untuk berharap
padanya,”
“Ginsha. Maukah kamu menjadi
pacarku?” ucap Randra tiba-tiba.
Wajahnya terlihat sangat serius.
“Kenapa aku harus jadi pacar
kamu, Dra?”
“Karena.....aku sudah menyukaimu
sejak lama,”
@
Diary.......
Kini aku sudah jadian dengan
Randra. Ternyata ia begitu baik
padaku. Perhatiannya sangat besar
padaku. Kurasa aku ingin membalas
cintanya. Sepertinya kisah tentang
Dimas harus benar-benar kuakhiri
sampai di sini. Sejak pertemuanku
dengannya di bioskop, aku sudah
tidak lagi bertemu dengannya. Ia
pindah keluar negeri. Mungkin itulah
alasannya mengapa ia putus dengan
Fita dan tidak lagi mencoba untuk
mendekatiku.
Dimas memberikan sepucuk surat
terakhirnya sesaat sebelum pergi. Ia
menitipkannya pada Tia. Dalam surat
itu dia mengatakan kalau dia
menganggapku sebagai first lovenya
sampai saat ini. Satu rahasia yang
baru kuketahui. Ternyata Randra
dan Dimas adalah saudara sepupu.
Halaman diary hampir habis. Sudah
setengah jam berlalu sejak aku mulai
membaca buku diary ini. Kamarku
masih setengah rapi. Belum
semuanya kubereskan. Aku masih
ingin membaca lanjutannya sampai
diary ini habis kubaca. Pintu kukunci
rapat agar Mama tidak tau.
Diary............
Kemarin aku banyak bertanya pada
Aldo tenatng Dimas dan Randra.
Darinya aku tau kalau Dimas sengaja
mendekati Fita dan menjauhi aku. Ia
mengalah pada Randra. Katanya
Randra memiliki cinta yang lebih
besar daripada cinta Dimas padaku.
Lagipula Dimas akan pergi keluar
negeri. Akhirnya ia mencoba
mendekati Fita agar aku marah
padanya.
Entahlah diary, masalah ini begitu
rumit bagiku. Randra dan Dimas,
mereka berdua sangat berarti
untukku......
Cinta tak akan pernah memilih
Pada siapa ia akan datang
Cinta tak akan pernah memilih
Pada siapa ia akan pergi
Halaman diary sudah habis. Aku
menghela nafas panjang. Tidak
terasa sudah tiga tahun sejak
kepergian Dimas keluar negeri.
Waktu yang cukup lama. Aku tidak
pernah tau bagaimana kabarnya
sejak ia di sana. Randra masih tetap
denganku. Ia satu kampus
denganku.
“Ginsha, ada tamu untuk kamu!”
teriak Mama dari luar kamar.
“Siapa, Ma?” tanyaku sambil
membuka kunci kamar.
“Randra dan Dimas. Mereka sudah
tunggu kamu di ruang tamu,”
Posting Komentar